Jauh sebelum Bogor menjadi Bogor yang sekarang dikenal, wilayah kota Bogor disebut oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai Buitenzorg. Untuk memberikan tanda pada kota dibangunlah Tonggak Putih (Bahasa Belanda : Witte Paal). Pilar tungga berwarna putih ini dibangun pada masa 1839 oleh Gubernur Jenderal De Eerens.
Pilar putih tersebut berdiri di lokasi yang sekarang disebut sebagai air mancur. Pada masa itu merupakan titik dari bertemunya tia jalan utama, dari Batavia (Jakarta), Pabaton dan Bubulak. Pilar tersebut diratakan tahun 1958. Hal yang menarik dari perkara meratakan ini adalah keinginan Republik Indonesia yang ingin menghilangkan peninggalan kolonial Hindia Belanda. Ironis, karena keinginan itu mengecualikan Istana Bogor dan bangunan lain. Barangkali keinginan penghancuran itu sebagai simbol saja, toh itu bangunan paling "tidak berguna" dari masa kolonial.
Bertahun-tahun kemudian, butuh 2 dekade, ada tengara baru yang dibangun di Kota Bogor. Pada masa walikota Bogor saat itu 1982 pada masa pemerintahan walikota Achmad Sobana. Tinggi Tugu kujang kira-kira sekitar 25 meter dari permukaan tanah
dengan seluas 26 meter x 23 meter. Tugu Kujang terletak di simpang tiga
jalan raya Padjajaran, Otista, dan Baranangsiang.
Pemasangan Replika Kujang Berukuran Besar di Tugu Kujang pada Masa Awal Pembangunan |
Karena tol jagorawi sudah selesai tahun 1978, sehingga saat selesai pembangunannya tugu, membuatnya sebagai sesuatu yang mudah terlihat jika keluar dari jalur pintu tol ke pusat kota Bogor. Ia, dengan mudah menjadi sesuatu mudah diingat warganya. Hingga di beberapa tempat di Bogor, dibuat replika tugu kujang, dengan ukuran lebih kecil.
Salah satu contoh tugu kujang mini Sumber foto : https://fotokitablog.wordpress.com/2007/12/22/tugu-kujang-milik-sektor-20-oma-lompoliu/ |
Tugu kujang sendiri merupakan sebuah pilar tunggal. Nyaris sama seperti Witte Paal, jika saja tidak ada replika kujang berukuran raksaa di atasnya. Replika kujang berukuran tinggi 7 meter dan berat 800 kg itu, benar-benar membuatnya sangat " Sunda" sekali, dan membuat orang lupa dengan Witte Paal.
Mungkin akan banyak yang telah membaca soal apa itu kujang. Banyak yang menulis kujang yang merupakan sebuah senjata tradisional yang merupakan nama senjata pusaka dari suku Sunda yang konon dipercaya memiliki kekuatan ghaib. Pusaka atau senjata kujang tersebut merupakan senjata yang sudah ada sejak abad ke-14 masehi yaitu pada masa pemerintahan kerajaan Prabu Siliwangi. Atau awalnya merupakan peralatan pertanian. Sejujurnya, dua hal ini kontradiksi. Bagaimana sebuah senjata dari peralatan pertanian menjadi senjata menyerang.
Jika anda membaca hal itu, mungkin harus membaca artikel "KUJANG RIWAYATMU KINI"
. Dalam artikel tersebut, Aris Kurniawan, sang peneliti Kujang, denga jelas menuturkan bahwa berbeda sekali kujang yang dipakai untuk peralatan pertanian yang dimaksud.
Perbandingan kujang “tosan aji” dan kujang jenis perkakas. Credit: Aris Kurniawan |
Kujang yang sering kita lihat rupanya pada berbagai
logo lembaga-lembaga di Jawa Barat, sebenarnya simbol budaya yang disebut “tosan aji” atau “wesi aji. Kujang ini sering disangka sebagai
senjata, padahal tidak seperti itu. Kujang tosan aji merupakan hasil
karya budaya Sunda yang mengandung filosofi hidup bangsa Sunda dan
merepresentasikan peradaban Sunda. Filosofi atau nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya menjadi pendidikan budaya tersendiri bagi para
pewaris kujang juga masyarakat pada umumnya.
Tengara (landmark), entah apa pun maksud tujuannya, memang dibuat supaya terlihat berbeda. Setiap orang asing akan merasakan nuansa berbeda. Untuk mencapai "rasa yang berbeda", tengara dibangun lebih tingi, atau lebih indah, atau warna mencolok, atau desain yang berbeda.
Tugu kujang sebelum "tetangga" berdiri |
Di awal, tugu kujang bisa memenuhi hal tersebut. Karena menjadi bangunan paling tinggi di sekitarnya. Dipasangkan dengan pemandangan gunung salak, menjadi tiada duanya. Sejak tahun 2013, tugu kujang mendapat "lawan" lain. Hotel yang lebih tinggi, dengan jarak yang tidak begitu jauh. Sehingga muncul ledekan " Tugu kujang kini lebih pendek".
Tugu kujang kini punya "saudara muda" yang lebih tinggi |
Bahkan untuk menemani tugu kujang, dibangunlah "pilar gaya eropa" yang disebut Salapan Lawang, karena memiliki 9 pintu hasil dari 10 pilar yang berdiri. Entah apa maksudnya, pilar gaya helenis, dipakai dengan nama bahasa sunda. Untuk melengkapi kedua sisi Salapan Lawang diapit dua buah gazebo menyerupai Monumen Lady Raffles di Kebun Raya Bogor.
Teman Tugu Kujang Yang Baru, Salapan Lawang |
Dengan pembangunan bangunan hotel yang cukup tinggi, membuat pengunjung yang keluar dari jagorawi atau dari sebaliknya, akan melewati tugu kujang dengan rasa kecewa. Tak ada rasa. Barangkali tak ada bedanya seperti melihat tugu kujang berukuran kecil. Bahkan kini, untuk menikmati tugu kujang, banyak yang melakukannya dengan aerial foto. Kenapa ? Mustahil melihat keindahan kawasan tugu kujang yang kecil di antara bangunan tinggi.
Dalam salah satu artikel tahun 2016, dengan judul Tugu Kujang simbol Kota Bogor tak lagi berwibawa di merdeka(dot)com, Abah Wahyu seorang mpu pembuat Kujang, berharap Pemkot Bogor atau siapapun mau membuatkan Tugu Kujang Raja. Monumen lebih besar dari Tugu Kujang saat ini.
"Saya sudah ada desain Kujang Raja Ciung Sembilan. Kalau yang ada sekarang itu mah Kujang jenis kuntul. Kujang Kuntul itu dulunya pegangan para mantri atau patih kerajaan, bukan raja. Kalau Raja pegangannya kujang ciung sembilan. Dulu yang bikin tugu Kujang tidak melibatkan budayawan sehingga asal saja. Padahal Bogor itu mah harusnya Kujang Raja simbolnya. Lokasinya mesti berada di depan terminal Baranang Siang " ujar Abah Wahyu.
Mungkin itu sebuah ide yang bagus. Tapi dengan kondisi kota yang padat, dan berubah, mementingkan fungsi daripada filosofi, mungkin kita akan melewati tugu kujang tanpa rasa, dan hanya menunggu sesorang di masa depan untuk mengusulkannya dibongkar.