Ombudsman Republik Indonesia menemukan ada persoalan dalam tata kelola para pencari suaka di Kampung Arab, Cisarua, Bogor, Jawa Barat (Jabar). Masalah tersebut ditemukan dari hasil investigasi.
Anggota Ombudsman Adrianus Meliala menyebutkan, setidaknya terdapat lima masalah yang ditemukan hasil investigasi.
Pertama, tidak ada data jumlah imigran.
Kedua, pekerjaan informal yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA).
|
Salah Satu Pemandangan di Cisarua
|
Ketiga, status kepemilikan aset tanah. Keempat, izin mendirikan bangunan dan tempat usaha yang tidak sesuai. Terakhir, status dan administrasi anak hasil perkawinan campuran.
Dia meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor mengambil tindakan masalah ini karena berpotensi menjadi pelanggaran administrasi jika terus dibiarkan. "Berpotensi malaadministrasi, yaitu tindakan pembiaran," kata Adrianus saat konferensi pers yang digelar secara virtual, Kamis (30/7).
Selain itu, menurut dia, belum dilaksanakannya amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 mengenai penanganan imigran juga dapat berpotensi malaadministrasi berupa tindakan pengabaian kewajiban hukum.
Terkait temuan pertama, kata Adrianus, pihaknya belum menemukan data pasti jumlah pencari suaka yang menetap di wilayah tersebut. Bahkan, dia menyampaikan, aparat setempat pernah mengaku kesulitan melakukan pendataan lantaran para imigran sering berpindah-pindah tempat.
|
Usaha Kecil di Cisarua Pun menggunakan tulisan Arab
|
"Ombudsman menyoroti dugaan penyelundupan hukum, di mana tanah atau aset yang dijadikan tempat usaha. Khususnya, vila diduga dimiliki oleh orang asing dan dikelola oleh penduduk lokal," ungkap Adrianus.
Selain itu, Ombudsman juga menemukan adanya para WNA yang berprofesi pada sektor pekerja informal, seperti berdagang di pasar, menjadi tukang pangkas rambut hingga penjual parfum.
Menurut Adrianus, hal tersebut tidak sesuai ketentuan yang berlaku mengenai penggunaan tenaga kerja asing. Di samping itu, Ombudsman juga menemukan papan reklame bertuliskan arab di sepanjang ruas jalan wilayah Desa Tugu Selatan.
Ombudsman menilai, terjadi praktik pernikahan campur di sekitar wilayah itu. Dia mengaku menemukan pembuatan akta kelahiran, Kartu Identitas Anak (KIA), dan administrasi kependudukan lainnya untuk anak hasil perkawinan campur.
Atas dasar itu, Ombudsman meminta Pemkab Bogor memerintahkan camat dan kepala desa melakukan pengawasan terkait keberadaan WNA, pendataan, pelaporan setiap bangunan, dan tempat usaha yang terindikasi dimiliki orang asing.
Pemkab Bogor juga diminta, berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan Bogor guna mengetahui status kepemilikan tanah yang terindikasi dimiliki orang asing.