Pembangunan jalan raya Pos bertujuan untuk memudahkan transportasi (termasuk kegiatan Pos : pengiriman pesan/surat) serta dalam rangka mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Pembangunan jalan sepanjang 600 paal (1 paal = 400 roed) dan lebar 2 roed (1 roed = 3,767 m) dimulai bulan Mei 1808 dan selesai pada Desember 1809.
Salah satu pemandangan jalur puncak di masa kini Sumber : ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/kye/16 |
Pembangunan jalan raya dari Anyer, Jakarta hingga Bogor tidak menemukan kendala berarti. Tetapi, pembangunan jalan dari Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang hingga Cirebon banyak terkendala oleh pegunungan. Pada tahap ini, Pemerintah Hindia Belanda harus mengutus Kolonel Von Lutzouw dari militer untuk memimpin proyek pembangunan yang besar.
Pemerintah juga menyediakan upah hingga 30.000 ringgit di luar garam dan beras sebagai bahan makanan untuk pekerja. Besarnya upah yang diberikan tergantung dari beratnya medan yang dilalui. Upah terbesar diberikan pada pembangunan jalan raya Puncak (Cisarua hingga Cianjur), yaitu sebesar 10 ringgit perak orang per bulan (di jalan lain, upahnya hanya berkisar antara 1 hingga 6 ringgit perak per orang per bulan).
Pemandangan jalan puncak pass antara tahun 1870 s/d 1900 Sumber :Koleksi TROPENMUSEUM |
Sebelum jalan raya Puncak dibangun, menurut Marie-Louise Ten Horn-Van Nispen, perjalanan dari Batavia ke Tjipanas (Jakarta – Cianjur) memerlukan waktu delapan hari. Setelah jalan raya Puncak dibangun, perjalanan dari Batavia ke Cipanas bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu hari.
Meskipun demikian, menurut catatan Walter Kinloch (1853), jalan di Cisarua masih sangat terjal, sehingga membutuhkan bantuan beberapa ekor kerbau untuk menarik kereta kuda.
Namun, di balik kisah fantastis pembangunan jalan raya Pos sepanjang hampir 1.000 km dalam waktu sekitar 1 tahun serta besarnya manfaat ekonomi dari pembangunan jalan tersebut, rakyat Indonesia berduka.
Selepas Cirebon, pemerintah Hindia Belanda kehabisan dana. Daendels mengumpulkan penguasa pribumi di Semarang. Ia meminta mereka mengerahkan rakyatnya untuk kerja wajib/paksa (heerendiesten) melanjutkan pembangunan jalan hingga Panarukan.
Banyak pekerja yang sakit dan meninggal. Konon, jalan Daendels memakan korban sekitar 12.000 jiwa rakyat Indonesia.