Bulan Ramadan adalah bulan yang istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Selain hal-hal terkait ibadah, suasana bulan Ramadan juga selalu dirindukan karena banyak hal yang sulit didapatkan di bulan bulan lainnya. Mulai dari momen untuk bersilaturahmi dengan berbuka puasa bersama, kehadiran pasar kaget yang menjual menu-menu untuk berbuka puasa, yang bahkan jarang ditemukan pada hari biasa.
Dalam menyambut Ramadan, beberapa daerah dan suku di Indonesia juga punya tradisi khusus yang dilakukan secara turun-temurun. Meski bukan sesuatu yang diajarkan dalam agama, tradisi ini merupakan lambang sukacita, rasa syukur, silaturahmi, sekaligus pengharapan agar ibadah mereka dilancarkan.
Untuk masyarakat Sunda, Jawa Barat, ada beberapa tradisi yang biasa dilakukan dalam menyambut Ramadan, yaitu Munggahan, Kuramasan, Dan Nyadran.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai ketiga tradisi tersebut.
Tradisi Munggahan
Munggah Atau Munggahan adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Sunda untuk menyambut bulan Ramadan. Munggahan memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Sunda. Selain sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, munggahan juga merupakan ajang silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan antarwarga. Selain itu, munggahan juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antara warga dan pengurus masjid atau surau setempat.
Munggahan berasal dari kata bahasa sunda ‘Munggah’ yang artinya berjalan, naik atau keluar dari kebiasaan kehidupan sehari-hari.
Kata Munggahan ini sendiri berasal dari Bahasa Sunda yaitu “unggah” yang mempunyai arti kata naek ka tempat nu leuwih luhur atau naik ketempat yang lebih tinggi. (Danadibrata, 2006:727)
Tradisi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas ibadah dan ketakwaan kepada Allah SWT selama bulan suci Ramadan. Ada dua macam istilah munggahan, yaitu munggah adat dan munggah darajat. Munggah adat adalah peningkatan dalam hal adat atau kebiasaan yang berkembang di masyarakat sekitar, seperti makan daging saat puasa, sedangkan munggah darajat adalah adanya peningkatan derajat ketakwaan seseorang selama melaksanakan bulan suci Ramadan.
Tradisi munggahan sudah diwariskan sejak lama secara turun-temurun sebagai bagian penyambutan bulan suci Ramadan oleh masyarakat Sunda. Kegiatan ini biasa dilakukan sepekan terakhir menjelang datangnya Ramadan, dan tidak hanya bersama keluarga, tetapi juga bersama teman, rekan kerja, dan orang terdekat. Selain makan-makan, juga dilakukan saling memaafkan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan.
Bentuk pelaksanaan munggahan a cukup bervariasi, umumnya berkumpul bersama
keluarga dan kerabat, makan bersama, saling bermaaf- maafan, dan berdoa
bersama. Tapi ada masyarakat Sunda yang menyediakan berbagai jenis makanan dan minuman yang kemudian diarak ke masjid atau surau setempat. Makanan dan minuman tersebut biasanya berupa nasi, lauk pauk, buah-buahan, kue-kue tradisional, dan sirup.
Cucurak di Bogor
Lain lubuk, lain ikan. Tradisi munggah di Di Bogor juga berbeda. Di kawasan Bogor secara umum munggahan disebut cucurak.
Cucurak atau curak-curak (bahasa sunda) memiliki arti senang-senang atau bersenang-senang. Dalam tradisinya, cucurak dilakukan dengan berkumpul bersama keluarga besar atau kolega.
Hal yang membuat tradisi cucurak semakin menyenangkan adalah adanya hidangan makanan sederhana seperti nasi liwet, tahu, tempe, ikan asin, serta lalapan dan sambal yang disajikan di atas daun pisang. Hidangan itu kemudian dinikmati bersama-sama secara lesahan. Dalam masyarakat Sunda, cucurak bukan hanya sekadar kegiatan kumpul-kumpul dan makan bersama. Tradisi ini dimaknai sebagai bentuk silaturahim. Cucurak juga mengajarkan cara untuk mensyukuri rezeki dan saling berbagi
Namun menurut Budayawan Sunda, Abah Dadang dalam wawancara ke ROL menyebut, munggah berbeda dengan cucurak, walaupun sama-sama berkumpul bersama. Bedanya, cucurak adalah kegiatan yang dilakukan sehari sebelum acara munggah. Sementara, munggah itu dilakukan setelah tarawih pertama.
Dibandingkan dengan teman, Munggah lebih diutamakan keluarga. Kalau di rumah makan sendiri bisa saja namun kurang bermakna. Abah mengutarakan bahwa ia lebih senang munggah di rumah dibanding restoran. Ia menjelaskan masalah makanan tidak terlalu menjadi soal. Sama saja, tergantung masing-masing orang, mau ikan ataupun ayam.
Sebelum acara munggah dilakukan, ia mengingat sewaktu kecil selalu berbersih, seperti mandi dan keramas. Selain itu menjaga segala macam gal yang menguatkan puasa seperti fisik atau lainnya. "Kalau kecil saya suka mandi di Cisadane, siang sebelum teraweh pertama," katanya.
Abah mengatakan, sebagian besar masyarakat Bogor di hari pertama sering menyediakan lauk-pauk ayam, baik di goreng atau di bakar. Namun kalau opor, hanya ketika lebaran. "Biasanya hari pertama setelah teraweh penuh, itu bisa disebut munggahan juga," tandasnya.
Kapan Munggahan Dilakukan ?
Uniknya pelaksanaan munggahan ini berbeda untuk tiap daerah, bahkan komunitas masyarakat. Ada daerah yang menyebut Jumat terakhir di bulan Syaban, ada pula munggahan dilakukan pada hari Selasa Wage sebelum masuk bulan Ramadan.Tapi secara umum adalah minggu terakhir bulan Syaban atau 1 minggu sebelum bulan Ramadan. Namun, kapan pun dilakukan memiliki makna yang sama dengan munggahan di daerah Sunda lainnya, yaitu sebagai ungkapan syukur dan mempererat tali persaudaraan.
Kuramasan
Selain munggahan, ada juga tradisi kuramasan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda dalam menyambut bulan Ramadan. Sayangnya tradisi ini tidak populer lagi.
Keramasan atau Kuramasan dalam dialek Sunda, merupakan mandi besar atau mandi taubat biasa masyarakat menyebut. Berasal dari kata keramas, artinya mandi dengan disertai membasuh kepala secara sempurna. Hal ini menunjukan sebuah simbol pembersihan dan penyucian diri lahir dan batin, sebagai bagian dalam penyambutan bulan suci Ramadan.
Dalam praktiknya, biasanya dilakukan seminggu sebelum pelaksanaan puasa Ramadan berlangsung. Setelah melakukan mandi besar atau keramasan, setiap keluarga kemudian melangsungkan aksi saling memaafkan dari segala salah dan dosa. Istilahnya pembersihan diri menyambut bulan suci Ramadan.
Nyadran / Nyekar / Ziarah
Tradisi nyadran dilakukan pada malam-malam terakhir bulan Sya'ban, sebelum masuk bulan Ramadan. Pada malam itu, masyarakat Sunda membersihkan kuburan dan makam leluhur mereka dengan cara memperbaiki atau mengganti nisan dan membersihkan lingkungan sekitarnya. Selain itu, mereka juga mengadakan ziarah ke makam leluhur dan berdoa agar diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah puasa.
Sumber : https://www.jabarnews.com |
Nyadran memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat Sunda. Selain sebagai ungkapan syukur dan mempererat tali persaudaraan dengan leluhur, nyadran juga mengajarkan nilai-nilai kebersihan, keteraturan, dan menghormati jasa-jasa leluhur. Selain itu, nyadran juga menjadi sarana untuk mempersiapkan diri secara spiritual dalam menyambut bulan Ramadan.
- Nisfu Sya'ban Jatuh pada 8 Maret 2023: Sejarah, Makna, dan Amalan yang Dilakukan
- Puasa Qadha Ramadan: Niat, Tata Cara, dan Keutamaannya
- 12 Jenis Puasa Termasuk Puasa Ramadan Dalam Agama Islam
Tradisi nyadran juga merupakan salah satu tradisi khas masyarakat Sunda dalam menyambut bulan Ramadan. Tradisi ini memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Sunda, yaitu sebagai ungkapan syukur, mempererat tali persaudaraan dengan leluhur, dan mempersiapkan diri secara spiritual dalam menyambut bulan Ramadan.